Beberapa Aliran pada Penyutradaraan
PSIKOLOGISME
Aliran yang mengutamakan pembahasan
masalah kejiwaan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita.
Dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin para pelaku disoroti dengan
tajam, detail dan mendalam. ” Belenggu” Armijn Pane, ” Atheis ” Achdiat
Kartamiharja, ” Royan Revolusi ” dan ” Kemelut hidup ” Ramadhan K.H., ”
Damai dalam Badai ” dan ” Cintaku Selalu Padamu ” Motenggo Boesye, ”
Bila Malam Bertambah Malam ” Putu Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie
Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T., Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa
disebut sebagai novel psikologi.
ALIRAN ROMANTIK
Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri
: keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat
yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia.
Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan,
kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga
cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa
lampau yang terkadang melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan
yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan yang asyik dunia
muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh
dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh
perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga
tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka
itu kemudian ada yang lari kegunung atau tempat terpencil lainnya yang
dirasakannya jauh dari kekerasan hidup.
Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah
satu ciri alam romantik tokoh-tokohnya suka membunuh diri, karena
terlalu kuat dihinggapi perasaan.
Romantisme, aliran yang mementingkan
curahan perasaan yang indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam
estetika diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu membuai sukma. Contoh :
puisi-puisi Amir Hamzah ” Buah Rindu”, ” Karena Kasihmu “, ” Memuji
Dikau “, ” Mengawan “, ” Do’a “, karya-karya Hamka ” Tenggelamnya Kapal
Van der Wijk “, ” Di Bawah Lindungan Ka’bah “, ” Di dalam Lembah
Kehidupan “, roman ” Upacara ” dan kumpulan sanjak ” Nyanyian Ibadah ”
nya Korrie Layun Rampan, kumpulan sanjak ” Romance Perjalanan ”
Kirjomulyo, ” Buku Puisi ” nya Hartoyo Andangjaya.
EKSISTENSIALISME
Liaw Yock Fang dalam bukunya “Ikhtisar
Kritik Sastra” menyatakan bahwa “Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang kemudian menjadi landasan suatu aliran sastra.”
Ajaran yang pokok dari eksistensialisme
ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak
ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya
dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri. Karena
itu, karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan
-termasuk perbuatan kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan.
Unsur-unsur dasar dari manusia seperti irrasionalitas, ketidak sadaran
dan kebawahsadaran juga dipentingkan. Kehidupan dipandang sebagai
sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan kehidupan manusia
adalah rentetan saat-saat yang berurutan”.
Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan
dengan Eksistensialisme” mencoba memprkenalkan suatu alam pikiran yang
dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme, dengan membutiri
pendapat filsuf eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya.
Beberapa pikiran tokoh eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini :
Manusia adalah pengambil keputusan dalam
eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap
sempurna (Kiergaard).
Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan (Kiergaard).
Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan
menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan, apa yang
baik, harus kuat ; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah
(Niezseche).
Dalam pergaulan antara manusia maka yang
harus ditumbuhkan dalam manusia-manusia agung yaitu manusia yang oleh
kekuatan tak bisa mengatasi kumpulan manusia-manusia dalam massa
(Nietzseche).
FILSAFATISME
Aliran yang mengedapankan hadirnya
nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran mendalam makna hidup, yang
biasanya berangkat dari penghayatan personal. Para pengarang dan penyair
yang karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga. Tidak
sedikit di antara mereka sekaligus filsuf.
Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito,
Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Iwan Simatupang, Subagio
Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib, banyak terlahir sastra
filosofis.
Sastra filosofis ada yang berkadar
humanis, adapula yang religius. Di sisi lain kita temukan spiritualisme,
aliran yang mementingkan nilai-nilai ruhani, kehidupan batiniah, yang
menuju kebajikan dan kesempurnaan. Spiritualisme berbeda dengan
psikologisme, karena spiritualisme sudah mengacu ke moral luhur, sedang
psikologisme membahas kehidupan dari segi jiwanya, lepas dari masalah
atau tanpa keharusan penyampaian-penyampaian nilai-nilai dan akhlak
mulia.
Sanjak-sanjak ruhani bisa merupakan
bagian dari filsafatisme, di samping ia sendiri merupakan perwujudan
spiritualisme. Filsafatisme bisa berangkat dari pikiran, bisa pula
diilhami wahyu atau mewujudkan renungan hati nurani. Contoh-contoh di
bawah ini bisa dimasukkan ke dalam filsafatisme, tetapi juga benar untuk
dimasukkan ke dalam spritualisme.
EKSPRESIONISME DAN IMPRESIONISME
M.H. Abrams menyatakan bahwa
ekspresionisme adalah gerakan dalam sastra dan seni di Jerman yang
mencapai puncaknya pada periode 1910 – 1952. Para pelopornya seniman dan
pengarang yang dengan bermacam cara menyimpang dari penggambaran yang
realistik tentang kehidupan dan dunia. Mereka mengekspresikan pandangan
seni mereka atau emosi secara kuat. Ekspresionisme tidak pernah
merupakan suatu gerakan yang dirancang secara baik. Dapat dikatakan
bahwa ciri utama ekspresionisme adalah pemberontakan melawan tradisi
realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal pokok persoalannya
(subyect matter) maupun gayanya (style).
A.F. Scott dalam kamusnya Current
Literary Terms A Concis Dictionary menyatakan bahwa impresionisme
merupakan cara menulis karangan yang tidak memperlakukan realitas secara
obyektif, tetapi menyajikan kesan-kesan (impressions) dari
pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal dari dunia seni lukis
pad paruh pertama abad ke 19 di Perancis.
Sementara itu H.B. Jassin menyebutkan
bahwa ” suatu lukisan yang impresiomistis kelihatannya seperti belum
selesai. Baru hanya skets. Segala sesuatu tidak dilukiskan
pikiran-pikiran yang sudah masak dipikirkannya,…..dia hanya mau
melukiskan kesannya sepintas lalu, kesan pertama yang segar “.
MELANKHOLISME
Aliran dengan karya-karya penuh warna
muram, sendu, kehidupan yang getir dan tragis, sarat ratapan dan
rintihan. Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India,
cerita-cerita dengan tema kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan
termasuk melankholisme. ” Di dalam Lembah Kehidupan “, ” Tenggelamnya
Kapal Van der Wijk “, ” Di bawah Lindungan Ka’bah ” karya Hamka, ” Buku
Harian Seorang Penganggur ” dan cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad
Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam ” Buah Rindu “, kebanyakan
sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra melankholik. Lagu-lagu Rinto
Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A. Riyanto bisa
dimasukkan ke sini.
IRONISME
Aliran yang mementingkan nada mengejek,
kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya
itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau
perilaku tokoh tertentu. ” Melaut Benciku ” Amal Hamzah, ” Kisah Sebuah
Celana Pendek ” Idrus, beberapa cerpen Hamsad Rangkuti dan ” Sumpah WTS ”
dan ” Catatan Harian Seorang Koruptor ” F. Rahardi merupakan contoh
ironisme.
NIHILISME
Aliran yang mengekspos peristiwa atau
pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai tingkat filsafat, tanpa landasan
moral kemanusiaan, apalagi Keilahian. Cerita-cerita yang ateistik,
komunistik, sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi
nihilis. Ada memang, cerita yang menghadirkan paham-paham penafian
Tuhan, pemasabodohan agama dan penghalalan segala cara untuk mencapai
tujuan, misalnya ” Atheis ” nya Achdiat Kartamihardja, tetapi karena
tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru terlihat dalam sikap
Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka karangan
tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme.
NATURALISME
Aliran yang mementingkan pengungkapan
secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif.
Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para
penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi,
karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya,
hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan
naturalisme ini sebagai gaya mereka. Kumpulan sanjak F. Rahardi, ”
Catatan Harian Sang Koruptor ” dan ” Sumpah WTS “, beberapa sanjak
Rendra ” Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, ” Rick dari Corona
“, ” Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA ” bisa ditunjuk sebagai contoh
pengibar aliran ini. Dari khazanah lama ” Surabaya ” nya Idrus bisa
digunakan sebagai contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan
Rendra.
DETERMINISME
Istilah determinisme berasal dari doktrin
filsafat yang menyatakan bahwa setiap kejadian atau peristiwa itu ada
penyebabnya. Dalam sastra, determinisme mencoba menggambarkan
tokoh-tokoh cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak
sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada
dirinya.
Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah
takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang berlaku pada agama langit,
melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan sebagai akibat yang tak
dapat dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa
faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial.
H.B. Jassin menyatakan bahwa nasib itu ”
ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan, penyakit, darah
keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Menurut ilmu keturunan, ayah
atau ibu yang jahat akan menurunkan sifat-sifat jahatnya pada anaknya
atau cucu-cucunya, biarpun keturunannya itu bermaksud baik, mau
memperbaiki dirinya……….Apabila si orang tua jahat, maka itu bukan pula
karena sudah ditakdirkan Tuhan demikian, tetapi karena keadaan
masyarakat yang serba bobrok, orang hidup dalam kemiskinan yang sangat,
pembagian harta kekayaan antara manusia tidak adil “.
(contoh novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” oleh Hamka)
Determinisme berpendapat bahwa tragedi
hidup manusia sudah tercetak dalam kemutlakan, merupakan paksaan nasib
yang tak bisa ditembus oleh segenap daya dan ikhtiar sang pelaku. Orang
sadar dengan kodratnya, sebagai wong cilik, sebagai hamba sahaya,
sebagai sang kurban, sehingga tidak akan banyak menuntut. Ia
legawa-legalila nrima ing pandum menerima suratan nasib, seperti yang
terjadi pada Maria Magdalena Pariyem dalam liris prosanya Linus Suryadi
Ag. . Atau, seperti skenario semula, memang tragis penuh tangis.
Determinisme bisa dijumpai dalam ” Trilogi Oedipus ” nya Sophokles, ”
Tragedi Sangkuriang “, ” Pengakuan Pariyem ” nya Linus Suryadi AG, novel
” Kuterima Penderitaan Ini, Ibu ” Motenggo Boesye, tokoh-tokoh cerita
Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah”
dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan “Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”,
“Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin.
SIMBOLISME
Pengungkapan simbolis tidak secara
harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu
yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari
kecantikan.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra
yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan
sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui
objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap
realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata.
Sastra simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam
mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan misterius.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara samar-samar ditangkap maknanya.
Penyair simbolik bahkan menyukai yang
samar-samar itu, oleh karena bagi mereka puisi harus merupakan teka-teki
bagi orang biasa, tetapi sebenarnya merupakan musik yang indah bagi
yang dapat menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai
keindahannya dengan mengungkapkan objek secara tidak langsung, secara
sugestif, dan dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung
makna.
Simbolisme, banyak menggunakan kata-kata
kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik untuk melukiskan
sesuatu. Sesungguhnya, semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat
Kalilah dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini. ” Dengar
Keluhan Pohon Mangga “, karya Maria Amin, ” Musyawarah Burung ” karya
Fariduddin Attar, ” Kucing ” sanjak Sutardji Q.B., ” Ikan-ikan Hiu, Ido,
Homa ” karya Y.B. Mangunwijaya, “Ular dan Kabut” sanjak Ayip Rosidi,
“Sebuah Lok Hitam” puisi Hartoyo Andangjaya, hanya sekadar contoh sastra
simbolik ini.
IDEALISME
Aliran dalam kesusastraan yang
mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan
cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan
sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya
pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat
atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis
menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya.
Contoh : “Habis Gelap Terbitlah Terang” karya R.A. Kartini;
“Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana
“Kemarau” karya A.A. Navis, cerpen “Kadis” karya Muhammad Diponegoro.
Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini
HEROISME
Aliran yang mencuatkan nilai-nilai
kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa,
serta semangat membela tanah air. “Bende Mataram” karya Muhammad Yamin,
“Diponegoro” karya Chairil Anwar, “Monginsidi” karya Subagio
Sastrowadojo, “Tanah Tumpah Darah” karya Sitor Situmorang, “Stasiun
Tugu” karya Taufik Ismail, “Ode bagi Proklamator” karya Leon Agusta, dan
tentu saja lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu-lagu nasional “Ibu
Kita Kartini”, “Satu Nusa Bangsa”, “Padamu Negeri”, “Rayuan Pulau
Kelapa”, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola”, “Melati Tapal Batas”,
“Pantang Mundur”, merupakan contoh-contoh heroisme ini. “Percikan
Revolusi” dan “Cerita-cerita dari Blora” karya Pramudya serta
cerpen-cerpen revolusi Trisno Yuwono “Di Medan Perang” dan “Laki-laki
dan Mesiu” bisa dimasukkan ke sini. Heroisme pun kita temukan pada
lagu-lagu tertentu ciptaan Leo Kristi dan Gombloh almarhum.
RELIGIUSISME
Religiusme, aliran yang mementingkan
nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di
hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh
sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan. “Gitanyali”
karya Rabindranath Tagore, “Rindu Dendam” karya Y.E. Tatengkeng, “Kata
Hati” karya Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu
Tua”, “Balai-balai”, “Sajadah Panjang”, “Aisyah Adinda Kita” karya
Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku” karya Emha Ainun Najib, “Nyanyian
Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di dalam Kereta Api
Perjalanan Hidup” karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu adalah
Rinduku” dan “Perempuan-perempuan Impian” karya Motenggo Boesye, “Wirid”
karya Ikranegara, novel “Ibuku Sayang” karya Teguh Esha adalah sekadar
contoh sastra religius yang bisa dijumpai.
TRANSENDENTALISME
Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai
transendental, renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis (di
atas hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi merupakan
katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif.
Sanjak-sanjak Afrizal Malna dalam “Abad yang Berlari”,
“Isyarat” dan “Suluk Awang-uwung” karya
Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid Jabbar, serta Ahmad Tohari,
sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad, juga “Sejuta
Milyar Satu” karya Eka Budianta, merupakan contoh Transendentalisme.
KOMEDIALISME
Penuh suasana ceria, kocak, menganggap
hidup penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme dan
melankolisme yang pessimistis. Tetapi ia tidak identik dengan lawak.
Gaya bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B. Mangunwijaya
dalam “Puntung-puntung Rara Mendut” mengacu ke sini. Drama “Tuan
Kondektur”, “Pinangan”, “Orang-orang Kasar” karya Anton Chekov,
“Kejarlah Daku kau Kutangkap” karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke
Hari” karya Mahbub Junaidi, “Arjuna Mencari Cinta” dan “Yudhistira Duda”
oleh Yudhistira Ardi Noegraha merupakan sebagian contoh komedialisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar