Minggu, 09 Desember 2012

Beberapa Aliran pada Penyutradaraan

Beberapa Aliran pada Penyutradaraan

PSIKOLOGISME
Aliran yang mengutamakan pembahasan masalah kejiwaan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin para pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam. ” Belenggu” Armijn Pane, ” Atheis ” Achdiat Kartamiharja, ” Royan Revolusi ” dan ” Kemelut hidup ” Ramadhan K.H., ” Damai dalam Badai ” dan ” Cintaku Selalu Padamu ” Motenggo Boesye, ” Bila Malam Bertambah Malam ” Putu Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T., Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa disebut sebagai novel psikologi.
ALIRAN ROMANTIK
Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri : keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka itu kemudian ada yang lari kegunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya jauh dari kekerasan hidup.

Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah satu ciri alam romantik tokoh-tokohnya suka membunuh diri, karena terlalu kuat dihinggapi perasaan.
Romantisme, aliran yang mementingkan curahan perasaan yang indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu membuai sukma. Contoh : puisi-puisi Amir Hamzah ” Buah Rindu”, ” Karena Kasihmu “, ” Memuji Dikau “, ” Mengawan “, ” Do’a “, karya-karya Hamka ” Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, ” Di Bawah Lindungan Ka’bah “, ” Di dalam Lembah Kehidupan “, roman ” Upacara ” dan kumpulan sanjak ” Nyanyian Ibadah ” nya Korrie Layun Rampan, kumpulan sanjak ” Romance Perjalanan ” Kirjomulyo, ” Buku Puisi ” nya Hartoyo Andangjaya.
EKSISTENSIALISME
Liaw Yock Fang dalam bukunya “Ikhtisar Kritik Sastra” menyatakan bahwa “Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang kemudian menjadi landasan suatu aliran sastra.”
Ajaran yang pokok dari eksistensialisme ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri. Karena itu, karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan -termasuk perbuatan kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan. Unsur-unsur dasar dari manusia seperti irrasionalitas, ketidak sadaran dan kebawahsadaran juga dipentingkan. Kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan kehidupan manusia adalah rentetan saat-saat yang berurutan”.
Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan dengan Eksistensialisme” mencoba memprkenalkan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme, dengan membutiri pendapat filsuf eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya. Beberapa pikiran tokoh eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini :
Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap sempurna (Kiergaard).
Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan (Kiergaard).
Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan, apa yang baik, harus kuat ; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah (Niezseche).
Dalam pergaulan antara manusia maka yang harus ditumbuhkan dalam manusia-manusia agung yaitu manusia yang oleh kekuatan tak bisa mengatasi kumpulan manusia-manusia dalam massa (Nietzseche).
FILSAFATISME
Aliran yang mengedapankan hadirnya nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran mendalam makna hidup, yang biasanya berangkat dari penghayatan personal. Para pengarang dan penyair yang karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga. Tidak sedikit di antara mereka sekaligus filsuf.
Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib, banyak terlahir sastra filosofis.
Sastra filosofis ada yang berkadar humanis, adapula yang religius. Di sisi lain kita temukan spiritualisme, aliran yang mementingkan nilai-nilai ruhani, kehidupan batiniah, yang menuju kebajikan dan kesempurnaan. Spiritualisme berbeda dengan psikologisme, karena spiritualisme sudah mengacu ke moral luhur, sedang psikologisme membahas kehidupan dari segi jiwanya, lepas dari masalah atau tanpa keharusan penyampaian-penyampaian nilai-nilai dan akhlak mulia.
Sanjak-sanjak ruhani bisa merupakan bagian dari filsafatisme, di samping ia sendiri merupakan perwujudan spiritualisme. Filsafatisme bisa berangkat dari pikiran, bisa pula diilhami wahyu atau mewujudkan renungan hati nurani. Contoh-contoh di bawah ini bisa dimasukkan ke dalam filsafatisme, tetapi juga benar untuk dimasukkan ke dalam spritualisme.
EKSPRESIONISME DAN IMPRESIONISME
M.H. Abrams menyatakan bahwa ekspresionisme adalah gerakan dalam sastra dan seni di Jerman yang mencapai puncaknya pada periode 1910 – 1952. Para pelopornya seniman dan pengarang yang dengan bermacam cara menyimpang dari penggambaran yang realistik tentang kehidupan dan dunia. Mereka mengekspresikan pandangan seni mereka atau emosi secara kuat. Ekspresionisme tidak pernah merupakan suatu gerakan yang dirancang secara baik. Dapat dikatakan bahwa ciri utama ekspresionisme adalah pemberontakan melawan tradisi realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal pokok persoalannya (subyect matter) maupun gayanya (style).
A.F. Scott dalam kamusnya Current Literary Terms A Concis Dictionary menyatakan bahwa impresionisme merupakan cara menulis karangan yang tidak memperlakukan realitas secara obyektif, tetapi menyajikan kesan-kesan (impressions) dari pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal dari dunia seni lukis pad paruh pertama abad ke 19 di Perancis.
Sementara itu H.B. Jassin menyebutkan bahwa ” suatu lukisan yang impresiomistis kelihatannya seperti belum selesai. Baru hanya skets. Segala sesuatu tidak dilukiskan pikiran-pikiran yang sudah masak dipikirkannya,…..dia hanya mau melukiskan kesannya sepintas lalu, kesan pertama yang segar “.
MELANKHOLISME
Aliran dengan karya-karya penuh warna muram, sendu, kehidupan yang getir dan tragis, sarat ratapan dan rintihan. Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India, cerita-cerita dengan tema kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan termasuk melankholisme. ” Di dalam Lembah Kehidupan “, ” Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, ” Di bawah Lindungan Ka’bah ” karya Hamka, ” Buku Harian Seorang Penganggur ” dan cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam ” Buah Rindu “, kebanyakan sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra melankholik. Lagu-lagu Rinto Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A. Riyanto bisa dimasukkan ke sini.
IRONISME
Aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu. ” Melaut Benciku ” Amal Hamzah, ” Kisah Sebuah Celana Pendek ” Idrus, beberapa cerpen Hamsad Rangkuti dan ” Sumpah WTS ” dan ” Catatan Harian Seorang Koruptor ” F. Rahardi merupakan contoh ironisme.
NIHILISME
Aliran yang mengekspos peristiwa atau pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai tingkat filsafat, tanpa landasan moral kemanusiaan, apalagi Keilahian. Cerita-cerita yang ateistik, komunistik, sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi nihilis. Ada memang, cerita yang menghadirkan paham-paham penafian Tuhan, pemasabodohan agama dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, misalnya ” Atheis ” nya Achdiat Kartamihardja, tetapi karena tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru terlihat dalam sikap Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka karangan tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme.
NATURALISME
Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi, karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya, hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme ini sebagai gaya mereka. Kumpulan sanjak F. Rahardi, ” Catatan Harian Sang Koruptor ” dan ” Sumpah WTS “, beberapa sanjak Rendra ” Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, ” Rick dari Corona “, ” Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA ” bisa ditunjuk sebagai contoh pengibar aliran ini. Dari khazanah lama ” Surabaya ” nya Idrus bisa digunakan sebagai contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan Rendra.
DETERMINISME
Istilah determinisme berasal dari doktrin filsafat yang menyatakan bahwa setiap kejadian atau peristiwa itu ada penyebabnya. Dalam sastra, determinisme mencoba menggambarkan tokoh-tokoh cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada dirinya.
Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang berlaku pada agama langit, melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan sebagai akibat yang tak dapat dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial.
H.B. Jassin menyatakan bahwa nasib itu ” ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan, penyakit, darah keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Menurut ilmu keturunan, ayah atau ibu yang jahat akan menurunkan sifat-sifat jahatnya pada anaknya atau cucu-cucunya, biarpun keturunannya itu bermaksud baik, mau memperbaiki dirinya……….Apabila si orang tua jahat, maka itu bukan pula karena sudah ditakdirkan Tuhan demikian, tetapi karena keadaan masyarakat yang serba bobrok, orang hidup dalam kemiskinan yang sangat, pembagian harta kekayaan antara manusia tidak adil “.
(contoh novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” oleh Hamka)
Determinisme berpendapat bahwa tragedi hidup manusia sudah tercetak dalam kemutlakan, merupakan paksaan nasib yang tak bisa ditembus oleh segenap daya dan ikhtiar sang pelaku. Orang sadar dengan kodratnya, sebagai wong cilik, sebagai hamba sahaya, sebagai sang kurban, sehingga tidak akan banyak menuntut. Ia legawa-legalila nrima ing pandum menerima suratan nasib, seperti yang terjadi pada Maria Magdalena Pariyem dalam liris prosanya Linus Suryadi Ag. . Atau, seperti skenario semula, memang tragis penuh tangis. Determinisme bisa dijumpai dalam ” Trilogi Oedipus ” nya Sophokles, ” Tragedi Sangkuriang “, ” Pengakuan Pariyem ” nya Linus Suryadi AG, novel ” Kuterima Penderitaan Ini, Ibu ” Motenggo Boesye, tokoh-tokoh cerita Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah” dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan “Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”, “Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin.
SIMBOLISME
Pengungkapan simbolis tidak secara harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari kecantikan.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan misterius.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara samar-samar ditangkap maknanya.
Penyair simbolik bahkan menyukai yang samar-samar itu, oleh karena bagi mereka puisi harus merupakan teka-teki bagi orang biasa, tetapi sebenarnya merupakan musik yang indah bagi yang dapat menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai keindahannya dengan mengungkapkan objek secara tidak langsung, secara sugestif, dan dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung makna.
Simbolisme, banyak menggunakan kata-kata kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik untuk melukiskan sesuatu. Sesungguhnya, semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini. ” Dengar Keluhan Pohon Mangga “, karya Maria Amin, ” Musyawarah Burung ” karya Fariduddin Attar, ” Kucing ” sanjak Sutardji Q.B., ” Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa ” karya Y.B. Mangunwijaya, “Ular dan Kabut” sanjak Ayip Rosidi, “Sebuah Lok Hitam” puisi Hartoyo Andangjaya, hanya sekadar contoh sastra simbolik ini.
IDEALISME
Aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya.
Contoh : “Habis Gelap Terbitlah Terang” karya R.A. Kartini;
“Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana
“Kemarau” karya A.A. Navis, cerpen “Kadis” karya Muhammad Diponegoro.
Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini
HEROISME
Aliran yang mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat membela tanah air. “Bende Mataram” karya Muhammad Yamin, “Diponegoro” karya Chairil Anwar, “Monginsidi” karya Subagio Sastrowadojo, “Tanah Tumpah Darah” karya Sitor Situmorang, “Stasiun Tugu” karya Taufik Ismail, “Ode bagi Proklamator” karya Leon Agusta, dan tentu saja lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu-lagu nasional “Ibu Kita Kartini”, “Satu Nusa Bangsa”, “Padamu Negeri”, “Rayuan Pulau Kelapa”, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola”, “Melati Tapal Batas”, “Pantang Mundur”, merupakan contoh-contoh heroisme ini. “Percikan Revolusi” dan “Cerita-cerita dari Blora” karya Pramudya serta cerpen-cerpen revolusi Trisno Yuwono “Di Medan Perang” dan “Laki-laki dan Mesiu” bisa dimasukkan ke sini. Heroisme pun kita temukan pada lagu-lagu tertentu ciptaan Leo Kristi dan Gombloh almarhum.
RELIGIUSISME
Religiusme, aliran yang mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan. “Gitanyali” karya Rabindranath Tagore, “Rindu Dendam” karya Y.E. Tatengkeng, “Kata Hati” karya Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu Tua”, “Balai-balai”, “Sajadah Panjang”, “Aisyah Adinda Kita” karya Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku” karya Emha Ainun Najib, “Nyanyian Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di dalam Kereta Api Perjalanan Hidup” karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu adalah Rinduku” dan “Perempuan-perempuan Impian” karya Motenggo Boesye, “Wirid” karya Ikranegara, novel “Ibuku Sayang” karya Teguh Esha adalah sekadar contoh sastra religius yang bisa dijumpai.
TRANSENDENTALISME
Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai transendental, renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis (di atas hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi merupakan katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif. Sanjak-sanjak Afrizal Malna dalam “Abad yang Berlari”,
“Isyarat” dan “Suluk Awang-uwung” karya Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid Jabbar, serta Ahmad Tohari, sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad, juga “Sejuta Milyar Satu” karya Eka Budianta, merupakan contoh Transendentalisme.
KOMEDIALISME
Penuh suasana ceria, kocak, menganggap hidup penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme dan melankolisme yang pessimistis. Tetapi ia tidak identik dengan lawak. Gaya bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B. Mangunwijaya dalam “Puntung-puntung Rara Mendut” mengacu ke sini. Drama “Tuan Kondektur”, “Pinangan”, “Orang-orang Kasar” karya Anton Chekov, “Kejarlah Daku kau Kutangkap” karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke Hari” karya Mahbub Junaidi, “Arjuna Mencari Cinta” dan “Yudhistira Duda” oleh Yudhistira Ardi Noegraha merupakan sebagian contoh komedialisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar